Analisis Cerpen IKAN Karya Djenar Maesa Ayu

Posted by Unknown 20130218 0 komentar
Analisis Cerpen “IKAN” karya Djenar Maesa Ayu


Oleh
....................................


IKAN

Ia ikan yang terbang. Ia burung yang berenang. Dan saya, adalah saksi yang melihat semua itu dengan mata telanjang.

Ia menatap saya dengan pancaran mata riang. Syahdu meliputi butir-butir hujan yang jatuh menimpa tubuh kami yang diam-diam menggelinjang. Sembunyi-sembunyi, kami menikmati denyar-denyar di lautan perasaan paling dalam. Sementara kilat mencabik-cabik langit hingga berupa potongan-potongan gambar pantulan kami berjumlah jutaan. Ada yang hanya bagian kepala, ada yang hanya bagian kaki, dan ada yang hanya bagian tangan. Tak jarang kepingan-kepingan yang terlihat bagai pecahan kaca yang beterbangan itu saling berhantaman. Lantas jatuh menghajar kepala kami kala tak sedang ingin penuh. Menusuk ke dalam kekosongan otak yang terasa ringan. Hingga ada satu pecahan jatuh tepat di antara bibir kami yang tengah berciuman. Seolah dengan sengaja ingin memisahkan.

Malam berenang dalam kesunyian. Deru ombak ditingkahi samar suara musik dari kafe di kejauhan pantai, saling beradu berebut perhatian. Kami terkapar di atas pasir basah. Dingin meresap pori-pori kulit kami yang telah menjadi keriput dan merinding. Entah karena dingin yang memanggang, entah karena nyala yang redup, entah karena basah yang kering, entah karena entah, karena entah adalah ketidaktahuan yang sering kali jauh lebih memabukkan daripada kesadaran. Bukankah kita semua membayar mahal untuk sebuah entah? Kafe di pinggir pantai itu pun terisi orang-orang yang rela mengeluarkan ratusan hingga jutaan rupiah untuk tidak sadar. Untuk saling bertukar lidah berludah dengan orang yang baru dikenal. Untuk muntah di atas jamban lantas terpingkal-pingkal. Untuk saling bersentuhan dan mendesah massal. Untuk larut dalam satu malam yang menawarkan sejuta gombal.

Phuih! Ombak meludahi wajah kami yang ingin tak peduli. Tapi lendir ombak itu melekat begitu kental, begitu tengik! Mendakwa kelakuan kami sebagai jijik. Dan ia terpana. Girangnya sirna. Ia bukan lagi ikan yang terbang dan burung yang berenang. Dan ia menatap seolah saya adalah daging dan tulang yang terbalut kulit kerang. Muka badak, begitu istilah orang-orang. Maka saya tahu, hampir tiba saatnya waktu bersenang-senang hilang. Kebenaran dan kesalahan dipertanyakan. Saat penghakiman.

Suara musik di kejauhan membisikkan mimpi yang mutlak terulang. Sendawa alkohol di permukaan udara. Bahana tawa. Bercinta di bawah para-para. Pesta pora. Sentuhan menggoda. Senyum manja. Membuat saya begitu jengah dengan segala aturan-aturan. Membuat saya muak mendengar melulu kebajikan. Maka…

Phuih! Saya meludah ke mukanya. Lantas saya berlari sambil menarik dahak sebanyak-banyaknya di tenggorokan untuk segera melimpahkannya kepada ombak yang kurang ajar. Saya pun tak mau membuang waktu lebih panjang. Saya berlari kencang menuju kafe dengan kaki-kaki telanjang. Meninggalkannya dalam diam yang haru. Rajaman semu.

Saya menunggu.

***

“BUSET! Lama amat di luar?”
“Udah ngapain aja?”
“Kayak gak tau aja barbeque under the stars!”
“Feeling hot hot hot!”

Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa berkepanjangan.
Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa dalam penantian.

Musik kian mengentak. Undak-undakan telah disiapkan di pinggir bar. Para model menunggu giliran untuk sebuah peragaan. Entah peragaan busana. Entah peragaan gaya. Entah peragaan yang bisa memancing rasa terpana. Entah peragaan untuk sekadar pertunjukan. Pertunjukan berarti menunjukkan sesuatu. Tapi sesuatu yang ingin dipertunjukkan itu tetaplah entah. Di sebuah tempat antah berantah.

Mereka yang berada di sana tertawa untuk entah. Sementara saya pun pura-pura tertawa, mengelabui pikiran sendiri yang sedang secara diam-diam mencari makna. Berlaku nyaris sama dengan yang lainnya supaya tak terlihat sebagai pembodoh di dalam magma yang siap memuntahkan laharnya kepada siapa pun yang berusaha meredam dengan dingin tanya. Apa pula pentingnya bertanya jika ada liukan pinggul di depan mata, rok-rok dengan panjang ala kadarnya, dan kaki-kaki jenjang mengentak di atas meja? Bukankah yang selayaknya terdengar adalah tanya semisal, berapa kira-kira umur mereka, bisa atau tidak mereka diajak kencan setelah acara, pertanyaan-pertanyaan yang tidak saja tertuju kepada para model itu, tapi juga kepada setiap pengunjung yang rela dan masyuk berimpit di dalam ruangan dipenuhi asap rokok meraja tiap penjuru?

Dan pertanyaan itu pun berdesing di telinga saya. “Sendiri?” Saya menatapnya. Tapi pandangan saya bagai menembus segala bentuk yang ada. Saya melihat seringai serigala di bibirnya yang tipis itu. Saya melihat anak-anak yang tengah tertidur di atas tempat tidur berkelambu. Saya melihat jajaran kartu kredit di dompetnya yang berwarna abu-abu. Saya melihat seekor burung yang seperti baru terjaga dari mati suri nyaris sewindu. Saya melihat diri saya sendiri terpaku. Tak mampu menjawab pertanyaan itu. Ia pun langsung mengambil langkah seribu. Namun seperti pekik senapan lagi-lagi pertanyaan itu kembali memburu. “Sendiri?” Dan sesudahnya, saya melihat sepasang manusia bercengkerama, lalu memisahkan diri.

***

ALKOHOL, sebagaimana fungsi malam ialah sarana untuk bersembunyi dari terang. Mata pun meredup menciptakan pemandangan yang makin samar. Ada surga yang akan segera terjangkau. Ada nama yang akan segera dilupakan. Ada luka yang akan segera hilang. Luka yang menyadarkan bahwa masa lalu kita nyata. Masa lalu yang pernah menguatkan perasaan bahwa dosa tak akan pernah cukup berarti ketika hati nurani mengatakan apa yang benar.

“Huahahahaha…mata bintitan, mulut bau alkohol gitu masih berani ngomongin surga, dosa, yang pantas juga ngomongin syahwat!”

Selalu harus ada yang pantas. Di tempat yang begitu tanpa batas ini pun mengenal kata pantas. Mata saya pun memanas. Ada yang mendesak ingin keluar. Maka bening berkumpul menyelimuti hitam bola mata. Namun ada keinginan kuat untuk segera menahan sedu sedan. Pertahanan yang dibangun untuk satu kata pantas, pantas, dan pantas. Padahal saya begitu ingin mendengar pantas sebagai pantat. Saya ingin melihat bubur sebagai dubur. Saya ingin merasa kosong sebagai bokong. Saya ingin merasa pantas yang lain dan lain yang pantas. Maka….

Dengan mata telanjang saya melihat ia ikan yang terbang. Ia burung yang berenang. Lalu semakin banyak ikan yang terbang. Semakin banyak burung yang berenang. Lalu semakin bertambah banyak ikan yang terbang. Semakin bertambah banyak burung yang berenang. Dan semua adalah ikan yang terbang. Semua burung yang berenang. Namun saya mencari mata yang menatap girang. Tapi tak juga saya temukan ia di tengah hiruk-pikuk gelepar sayap ikan dan sirip burung-burung berkepakan. Ia masih berada dalam diam yang haru. Rajaman semu.

Saya menunggu.

( Jakarta, Agustus 2004, 11:45:43 PM )




Analisis Cerpen “IKAN”
karya Djenar Maesa Ayu

A. Pendahuluan

Cerita pendek atau cerpen merupakan salah satu jenis karya sastra berupa karangan nasihat yang bersifat fiktif yang menceritakan suatu peristiwa dalam kehidupan pelakunya relatif singkat tetapi padat. Media yang digunakan dalam cerpen untuk menyampaikan pikiran pengarang adalah bahasa. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian atau konvensi dari masyarakat. Oleh karena banyak penyimpangan arti di dalam karya sastra, maka pengamatan atau pengkajian terhadap karya sastra (cerpen) khususnya dilihat dari gaya bahasa yang digunakan pengarang.

Cepen yang berjudul “IKAN” karya Djenar Maesa Ayu ini sangat unik, sehingga menarik jika dikaji dengan analisis stilistika. Dengan judul yang hanya terdiri dari satu kata, yaitu “IKAN” pembaca akan bertanya-tanya kira-kira apa isi di dalamnya. Apakah menceritakan tentang kehidupan ikan di lautan ataukah hanya sebuah perumpamaan. Dalam cerpen ini pemilihan judul dengan kata ’ikan’ adalah sebagai perumpamaan dan gambaran seseorang atau tokoh dalam cerpen tersebut. Kata ‘ikan’ yang digunakan untuk mewakili apa yang dikisahkan dalam cerpen. Selain pemilihan judul yang unik, dalam mengisahkan tokoh dan peristiwa yang terjadi penulis banyak menggunakan bahasa kias. Kekuatan utama dalam cerpen “IKAN” ini adalah penggunaan bahasa yang disominasi dengan gaya bahasa kias.

B. Analisis

Pada paragraf pertama, penulis mendeskripsikan setting tempat dan suasana dengan pilihan kata yang apik dan konotatif, seperti syahdu, menggelinjang, butir-butir, dan denyar-denyaar pada kalimat:

Syahdu meliputi butir-butir hujan yang jatuh menimpa tubuh kami yang diam-diam menggelinjang.
Sembunyi-sembunyi, kami menikmati denyar-denyar di lautan perasaan paling dalam.

Selain itu, penulis juga menggunakan bahasa kiasan seperti majas personifikasi, perbandingan (simile), dan hiperbola.

1) Majas Personifikasi

Majas personifikasi merupakan cara pengungkapan dengan menjadikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia. Majas tersebut terdapat pada kalimat berikut.

  • Sementara kilat mencabik-cabik langit hingga berupa potongan-potongan gambar pantulan kami berjumlah jutaan.
  • Lantas jatuh menghajar kepala kami kala tak sedang ingin penuh.
  • Menusuk ke dalam kekosongan otak yang terasa ringan.

2) Majas Perbandingan (simile)

Majas perbandingan adalah pengungkapan dengan menggunakan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung seperti layaknya, bagaikan, seperti, bagai, dll. Majas tersebut terdapat pada kalimat berikut. 

Tak jarang kepingan-kepingan yang terlihat bagai pecahan kaca yang beterbangan itu saling berhantaman.

3) Majas Hiperbola

Majas hiperbola adalah cara mengungkapkan sesuatu dengan melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataannya itu menjadi tidak masuk akal. Majas ini terdapat pada kalimat berikut.

Hingga ada satu pecahan jatuh tepat di antara bibir kami yang tengah berciuman. Seolah dengan sengaja ingin memisahkan.

Pada paragraf pertama penggunaan majas-majas tersebut dimaksudkan untuk menghidupkan pengantar yang kuat pada pembaca. Selain itu, penggunaan majas ini untuk memberikan kesan estetis cerpen tersebut agar terlihat lebih apik dan menghidupkan isi cerita.

Pada paragraf kedua, bahasa yang digunakan penulis juga sangat apik. Penggunaan bahasa kiasan seperti majas personifikasi, penggunaan pilihan kata yang kontradiktif, dan pengunaan ungkapan-ungkapan.

1) Majas Personifikasi

Terdapat pada kalimat:

Malam berenang dalam kesunyian. Deru ombak ditingkahi samar suara musik dari kafe di kejauhan pantai, saling beradu berebut perhatian.

2) Pilihan kata yang kontradiktif

Terdapat pada kalimat:

Entah karena dingin yang memanggang, entah karena nyala yang redup, entah karena basah yang kering, entah karena entah, karena entah adalah ketidaktahuan yang sering kali jauh lebih memabukkan dari pada kesadaran.

3) Ungkapan-ungkapan

Terdapat pada kalimat:

Untuk saling bertukar lidah berludah dengan orang yang baru dikenal.
Untuk muntah di atas jamban lantas terpingkal-pingkal.
Untuk saling bersentuhan dan mendesah massal.
Untuk larut dalam satu malam yang menawarkan sejuta gombal.

Paragraf ketiga, selain menggunakan bahasa kiasa atau majas penulis juga menggunakan ungkapan-ungkapan yang terdapat pada kalimat berikut.

1) Majas Personifikasi

Terdapat pada kalimat:

Phuih! Ombak meludahi wajah kami yang tak ingin peduli.
Mendakwa kelakuan kami sebagai jijik.

2) Majas Simile

Terdapat pada kalimat:

Dan dia menatap seolah saya adalah daging dan tulang yang berbalut kulit kerang.

3) Ungkapan-ungkapan

Terdapat pada kalimat:

Muka badak, begitu istilah orang-orang.
Ia bukan lagi ikan yang terbang dan burung yang berenang.

Paragraf keempat, didominasi dengan penggunaan majas personifikasi, yaitu pada kalimat berikut.

Suara musik di kejauhan membisikkan mimpi yang mutlak terulang.
Sendawa alkohol di permukaan udara.

Paragraf kelima, didominasi dengan majas hiperbola, yaitu pada kalimat berikut.

Lantas saya berlari sambil menarik dahak sebanyak-banyaknya di tenggorokkan untuk segera melimpahkannya kepada ombak yang kurang ajar.

Paragraf keenam, hanya terdiri dari pengulangan kata yang sama atau repetisi, yaitu pada kalimat.

Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa berkepanjangan.
Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa dalam penantian.

Paragraf ketujuh, menggunakan majas personifikasi dan permainan rima atau bunyi yang sama, yaitu pada kalimat berikut.

1) Majas Personifikasi

Terdapat pada kalimat:

Musik kian menghentak.

2) Rima

Terdapat pada kalimat:

Entah peragaan busana. Entah peragaan gaya. Entah peragaan yang bisa memancing rasa terpana.
Tapi sesuatu yang ingin dipertunjukkan ini tetaplah entah. Di sebuah tempat antah berantah.

Paragraf kedelapan, juga menggunakan majas personifikasi dan permainan bunyi atau rima yang dapat dilihat pada kalimat berikut.

1) Majas Personifikasi

Terdapat pada kalimat:

Berlaku nyaris sama dengan yang lainnnya supaya tak terlihat sebagai pembodoh di dalam magma yang siap memuntahkan laharnya kepada siapa pun yang berusaha merenda dengan dingin tanya.

2) Rima

Terdapat pada kalimat:

Apa pula pentingnya bertanya jika ada liukan panggul di depan mata, rok-rok dengan panjang ala kadarnya, dan kaki-kaki jenjang menghentak di atas meja?

Paragraf kesembilan, penulis hanya menggunakan permainan bunyi atau rima, yaitu pada kalimat-kalimat berikut.

Saya menatapnya. Tapi pandangan saya bagai menembus serigala di bibirnya yang tipi situ.Saya melihat anak-anak yang tengah tertidur di atas tempat tidur berkelambu. Saya melihat jajaran kartu kredit di dompetnya yang berwarna abu-abu. Saya melihat seekor burung yang seperti batu terjaga ari mati suri nyaris sewindu. Saya melihat diri saya sendiri terpaku. Tak mampu menjawab pertanyaan itu. Ia pun langsung mengambil langkah seribu. Namun seperti pekik senapan lagi-lagi pertanyaan itukembali memburu.

Paragraf kesepuluh, penulis banyak menggunakan ungkapan (makna konotasi) untuk menggambarkan peristiwa atau kejadian dalam cerita. Ungkapan-ungkapan tersebut antara lain pada kalimat-kalimat berikut.

Alkohol, sebagaimana maka ialah sarana untuk bersembunyi dari terang.
Ada surga yang akan segera terjangkau.
Ada nama yang akan segera dilupakan.
Ada luka yang akan segera hilang.
Masa lalu yang pernah menguatkan perasaan bahwa dosa tak akan pernah cukup berarti ketika hati nurani mengatakan apa yang benar.

Paragraf kesebelas, didominasi dengan permainan bunyi atau rima. Selain itu, penulis juga menggunakan repetisi atau pengulangan kata yang sama.

1) Rima

Terdapat pada kalimat:

Selalu harus ada yang pantas. Di tempat yang begitu tanpa batas ini pun mengenal kata pantas. Mata saya pun memanas.
Saya ingin melihat bubur sebagai dubur.
Saya ingin merasa kosong sebagai bokong.

2) Repetisi

Terdapat pada kalimat:

Pertahanan yang dibangun untuk satu kata pantas, pantas, pantas, sepantas. Padahal saya begitu ingin mendengar pantas sebagai pantat.
Saya ingin merasa pantas yang lain dan lain yang pantas.

Paragraf kedua belas, penulis mengekspresikan isi cerita dengan permainan rima dan pilihan kata-kata yang kontradiktif. Hal tersebut dapat dilihat dari kalimat-kalimat berikut.

1) Rima

Terdapat pada kalimat:

Dengan mata telanjang saya melihat ia ikan yang terbang. Ia burung yang berenang. Lalu semakin banyak ikan yang terbang.

2) Pilihan kata yang kontradiktif

Terdapat pada kalimat:

Semakin banyak burung yang berenang. Semakin bertambah banyak burung yang berenang. Dan semua adalah ikan yang terbang. Semua burung yang berenang.
Tapi tak juga saya temukan ia di tengah hiruk pikuk gelegap sayap ikan dan sirip burung-burung berkepakan.

C. Simpulan

Berdasarkan analisis dari masing-masing paragraf dalam cerpen yang berjudul ”IKAN” karya Djenar Maesa Ayu, dapat disimpulkan bahwa penulis sengaja menggunakan bahasa kiasan untuk menguatkan isi cerita. Cerpen ini sangat memperhatikan nilai estetisnya sehingga banyak ditemukan bahasa kiasan. Bahasa kiasan tersebut didominasi dengan menggunakan majas personifikasi.


Daftar Pustaka

Maesa Ayu, Djenar. 2006. Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Analisis Cerpen IKAN Karya Djenar Maesa Ayu
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://sekolah-madrasah.blogspot.com/2013/02/analisis-cerpen-ikan-karya-djenar-maesa.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Panduan blog dan SEO support Jual Online Baju Wanita - Original design by Bamz | Copyright of Sekolah | Madrasah.